No Katalog : -
No Publikasi : -
ISSN/ISBN : -
Tanggal Rilis :2022-09-01
downloadBanua Halat adalah nama permukiman tua di Kabupaten Tapin, Provinsi Kalimantan Selatan. Kawasan wilayahnya membentang di sepanjang tepian sungai Tapin, mulai dari batas kota Rantau di hulu sampai ke hilir sungai. Setelah pemekaran, yang disebut desa Banua Halat merupakan wilayah dari beberapa desa hasil pemekaran yakni Banua Halat Kiri, Banua Halat Kanan, Jingah Babaris, Badaun, Keramat, Kakaran, Banua Hanyar Hulu, dan Banua Hanyar Hilir. Satu hal yang menarik adalah bahwa Banua Halat merupakan wilayah geografis dengan pola kebudayaannya yang khas disamping persamaannya dengan kebudayaan masyarakat lainnya di Kalimantan Selatan, yakni kebudayaan Banjar. Kekhasan itu dapat dilihat dari sudut pandang historis, arkeologis maupun antropologi budaya yang terkait dengan tinggalan sejarah dan jejak tradisi multikultur yang masih berlangsung hingga saat ini di Banua Halat. Salah satu tinggalan sejarah itu adalah Masjid Al-Mukarromah Banua Halat yakni masjid berarsitektur tradisional atap tumpang. Lokasinya berada di desa Banua Halat Kiri, Kecamatan Tapin Utara, berjarak sekitar 2 km ke arah barat dari kota Rantau ibukota Kabupaten Tapin, atau berada sekitar 115 km di arah utara Banjarmasin, ibukota Provinsi Kalimantan Selatan. Sesuai dengan namanya maka masjid yang diyakini masyarakat sebagai masjid tertua di Kabupaten Tapin ini sudah sangat lama dikeramatkan oleh masyarakat Banua Halat dan bahkan oleh orang-orang Dayak Meratus yang tinggal di pegunungan Meratus Kabupaten Tapin yang nota bene masih menganut kepercayaan lama. Dahulu dan dalam sebagian besar publikasi ilmiah, orang Dayak Meratus lazim disebut orang Bukit. Kekeramatan masjid Banua Halat erat kaitannya dengan kepercayaan yang berkembang di kalangan orang-orang Banua Halat dan orang Dayak Meratus di Harakit dan Batung Kabupaten Tapin. Mereka menyatakan bahwa antara orang Dayak Meratus dan orang Banjar Hulu sesungguhnya “badangsanak” (bersaudara; hubungan genealogis) karena berasal dari keturunan dua bersaudara kandung: Intingan dan Dayuhan yang berasal dari Banua Halat. Dan orang Dayak Meratus mempercayai bahwa masjid Banua Halat dahulunya dibangun oleh Intingan, yakni saudara kandung Dayuhan; nenek moyang mereka. Ketika agama Islam masuk ke daerah ini, terjadilah pemisahan antara penduduk yang menganut agama Islam dengan penduduk yang masih menganut kepercayaan nenek moyang. Sejak itulah kampung mereka disebut Banua Halat. Banua (kampung halaman), Halat (pembatas/pemisah). Banua Halat artinya “kampung pembatas”, yaitu pembatas antara penduduk yang menganut agama Islam dengan yang menganut kepercayaan lama. Sisa-sisa budaya dari kelompok ini yang menunjukkan bahwa mereka pada mulanya merupakan kesatuan komunitas dapat ditelusuri dari peralatan tradisi mengayun anak Akulturasi Budaya Banjar di Banua Halat 2 dalam upacara baayun maulid atau ayun maulid (dahulu disebut baayun mulud atau ayun mulud) yang diselenggarakan di masjid Banua Halat bersamaan dengan peringatan maulid Nabi Muhammad SAW, tanggal 12 Rabiul Awal. Peserta ritual mengayun anak yang pada saat pelaksanaannya tidak hanya diikuti oleh bayi atau anak-anak, namun juga orang dewasa atau orang-orang tua, merupakan sebuah bentuk akulturasi karena mengandung perpaduan antara budaya lokal dan Islam. Selain itu, sebagai masjid yang dikeramatkan ada saja orang yang berziarah ke masjid ini untuk berbagai keperluan, seperti: memenuhi nazar, melakukan ritual memandikan anak dengan air tajau (tempayan) yang diyakini dapat memberikan keberkahan, berdoa bersama dipimpin oleh kaum masjid, atau untuk menaruh botol berisi air di mimbar masjid yang sewaktu-waktu diambil kembali guna mengambil berkah dari masjid keramat ini. Kapan masjid Banua Halat pertama kali didirikan? Tidak ada seorangpun mengetahuinya, karena sumber tertulis atau sumber resmi berdirinya masjid ini tidak didapatkan. Sebagaimana lazimnya bangunan tua yang dikeramatkan, maka keterangan tentang sejarah masjid ini banyak diperoleh dari folklor seperti mitos, cerita rakyat atau tradisi lisan yang berkembang di kalangan orang Banua Halat maupun orang Dayak di pegunungan Meratus yang masih menganut kepercayaan religi suku (Kaharingan). Hasil penelitian arkeologi terhadap sisa bagian konstruksi masjid Banua Halat dan temuan artefaktual dari tonggak kayu ulin menunjukkan bahwa kawasan Banua Halat dan sekitarnya merupakan sisa-sisa permukiman purba dan berlanjut sampai datangnya pengaruh Islam di Kalimantan Selatan (Usman, 2007:94). Sebagai kawasan yang dihuni sejak masa pra-Islam, maka keberadaan masjid, berbagai tradisi dan kepercayaan masyarakat yang berkembang di Banua Halat dan sekitarnya merupakan salah satu bentuk akulturasi antara kebudayaan lokal dan Islam. Akulturasi kebudayaan yang terjadi di Banua Halat sesungguhnya dapat ditinjau dari perspektif sejarah, antropologi, dan arsitektur. Sehubungan dengan itu, pertanyaanpertanyaan yang ingin dijawab adalah bagaimana gambaran akulturasi itu dilihat dari aspek: (1) mitos atau kepercayaan tentang sejarah asal-usul desa dan masjid Banua Halat; (2) arsitektur masjid Banua Halat; (3) tradisi baayun maulid; dan (4) berbagai ritual ziarah di masjid Banua Halat
No Katalog : -
No Publikasi : -
ISSN/ISBN : -
Tanggal Rilis :2022-08-31
downloadRumah di bantaran sungai apabila tidak diiringi dengan pemeliharaan sanitasi lingkungan, berpotensi mengakibatkan pencemaran sungai. Kondisi ini juga dapat menghasilkan berbagai permasalahan sanitasi lingkungan pada permukiman di bantaran sungai. Kabupaten Hulu Sungai Selatan memiliki 3 topologi daerah, yaitu daerah pegunungan, daerah dataran (kota) dan daerah rawa. Daerah rawa menjadi salah satu lokus permasalahan sanitasi dan air minum. Daerah rawa ini didominasi kehidupan masyarakat di bantaran sungai. Pada dasarnya ketidaktahuan masyarakat akan pentingnya mengelola limbah secara baik agar tidak mencemari lingkungan menjadi faktor yang mempengaruhi kebiasaan buruk Buang Air Besar Sembarangan (BABS). Tidak banyak yang menyadari bahwa sanitasi buruk pun memperbesar ancaman kesehatan generasional, seperti stunting. Tripikon-S (Tri/Tiga Pipa Konsentris-Septik) merupakan salah satu alternatif pengolahan air limbah domestik. Teknologi ini dikembangkan untuk menjawab tantangan kondisi lingkungan yang dihadapi didaerah yang terpengaruh pasang surut seperti misalnya daerah pesisir pantai, muara sungai, maupun rawa. Teknologi ini dapat diterapkan untuk toilet individual atau komunal. WC Tripicon S sudah dimanfaatkan di Desa Muning Baru, dan Desa Pihanin Raya Kabupaten Hulu Sungai Selatan, namun untuk pengembangan selanjutnya perlu dilakukan : Optimalisasi penyuluhan dan pembinaan masyarakat lebih khusus di bantaran sungai demi meningkatkan kesadaran untuk berperilaku hidup bersih dan sehat , Memberikan dukungan lebih besar pada kegiatan penyediaan sarana sanitasi buat masyarakat miskin, Pemanfaatan WC Tripicon S yang lebih masif sebagai sarana sanitasi di bantaran sungai dengan pembinaan dalam teknis pemasangan serta pemeliharaanya, Penelitian lebih dalam tentang efektifitas dan efisiensinya WC Tripicon, dan Pengembangan WC Tripicon S baik secara model/konstruksi ataupun penggunaan bahan lain.
No Katalog : -
No Publikasi : -
ISSN/ISBN : -
Tanggal Rilis :2022-08-24
downloadNegara kita adalah negara agraris terbesar di dunia dan pertanian menjadi mata pencaharian mayoritas penduduk. Pemerintah Indonesia berupaya untuk setiap tahun harus ada perkembangan ke arah yang lebih baik di sektor pertanian agar bisa mendapatkan apa yang ditargetkan sejak awal. Target lumbung pangan dunia adalah ambisi besar. Ambisi pemerintah Indonesia ini tentunya tidaklah salah mengingat bagaimana Indonesia yang kaya akan sumber daya alam bisa mendapatkan itu semua jika dikelola dengan baik dan benar. Keseriusan dalam mengembangkan sektor pertanian wajib dilakukan agar Indonesia tidak lagi tertinggal dari negara lain Kabupaten Hulu Sungai Selatan seperti diketahui memiliki luas wilayah 1.805 km persegi. Kabupaten yang beribukota Kandangan dan berpenduduk 232.857 jiwa tahun 2020 dan memiliki 38 297 petani sesuai hasil Sensus Pertanian Tahun 2013. Dilihat dari besaran distribusi persentase PDRB Tahun 2020 di Kabupaten Hulu Sungai Selatan maka sektor pertanian merupakan sektor terbesar dalam struktur ekonomi kabupaten. Sektor pertanian ini mencapai angka 24,57%. Permasalahan yang dihadapi dalam upaya peningkatan produktivitas pertanian di Kabupaten Hulu Sungai Selatan adalah : Sumber Daya Lahan, Sumber Daya Manusia, Sarana/Prasarana dan Penguasaan Teknologi Pertanian, Perubahan Iklim, Bencana Alam, dan Gangguan lainnya, Permodalan/Pembiayaan Bagi Petani dan Inovasi teknologi baru yang tidak spesifik lokasi Secara umum dapat diambil kebijakan dalam peningatan produktivitas dengan metode : intensifikasi pertanian, diversifikasi produk pertanian, pemanfaatan lahan rawa dan pemberian alat dan mesin pertanian dari pemerintah. Serta pentingnya pemanfaatan inovasi dan teknologi tepat guna spesifik lokasi dengan memperhatikan kearifan lokal masyarakat, seperti padi apung dan pemanfaatan kayapu di rawa
No Katalog : -
No Publikasi : -
ISSN/ISBN : -
Tanggal Rilis :2022-08-21
downloadMenurut UU 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, kata Bencana diartikan sebagai Peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan baik oleh faktor alam,dan/atau faktor non alam, maupun faktor manusia; sehingga mengakibatkan korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Banjir adalah peristiwa tergenangnya daratan yang biasannya kering oleh karena volume air pada suatu badan air meningkat. Banjir di Kabupaten Hulu Sungai Selatan secara frekuensinya semakin meningkat setiap tahunnya. Sehingga perlu dilakukan mitigasi bencana dan penaganan lebih awal, detail dan terpadu. Adapun Mitigasi adalah upaya yang dilakukan untuk mengurangi risiko dan dampak yang diakibatkan oleh bencana terhadap masyarakat di kawasan rawan bencana, baik itu bencana alam, atau akibat ulah manusia. Kalau dilihat dari data BPBD Provinsi Kalimantan Selatan pada Tahun 2020 di Kabupaten Hulu Sungai Selatan terjadi 21 bencana sedangkan di Tahun 2021 terjadi peningkatan menjadi 58 bencana. Dan salah satu bencana itu adalah Banjir. Faktor penyebab banjir di Kabupaten Hulu Sungai Selatan adalah IKLIM (Curah Hujan dan Anomali Cuaca) dan BIOGEOFISIK (Manusia, Tutupan Lahan, Topografi, Erosi & Longsor) Kebijakan yang setidaknya dapat diambil oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Hulu Sungai Selatan adalah dengan menerapkan Strategi Mitigasi sebagai berikut : 1. Mitigasi harus diintegrasikan dalam program pembangunan yg lebih besar 2. Pemilihan upaya mitigasi harus didasarkan atas biaya dan manfaat. 3. Agar dapat diterima masyarakat, mitigasi harus menunjukkan hasil yang segera tampak. 4. Upaya mitigasi harus dimulai dari yang mudah dilaksanakan segera setelah bencana 5. Meningkatkan kemampuan lokal dalam manajemen dan perencanaan
No Katalog : -
No Publikasi : -
ISSN/ISBN : -
Tanggal Rilis :2022-07-12
downloadPenerapan Tripikon-S Bertempat di Laboratorium Tradisional Teknik Sipil, Fakultas Teknik UGM, Teknologi Prof. Ir. Hardjoso Prodjopangarso berhasil menemukan salah satu alternatif teknik penanganan limbah domestik dan limbah rumah tangga yang murah dan mudah pembuatannya, yakni Tripikon-S (Tri (tiga) Pi (pipa) Kon (konsentris) S (septik)). Tripikon-S dapat digunakan untuk tangki septik kakus/jamban rumah tangga di daerah yang air tanahnya dangkal, daerah pasang surut, dan daerah rawa, atau pada daerah berlahan sempit. Tripikon-S pernah diterapkan di daerah pasang surut dan pemukiman padat seperti Kelurahan 3-4 Ulu, Palembang di mana air sungai di sana mudah sekali tercemar oleh limbah domestik yang berasal dari rumah tangga. Tangki septik konvensional yang cukup efisien sebagai prasarana penyehatan lingkungan sulit dibuat untuk daerah-daerah tersebut karena tidak adanya lahan atau karena lahan yang selalu tergenang air. Oleh karena itu, dibutuhkan instalasi pengolah limbah (wastewater treatment installation) yang tepat.