No Katalog : -
No Publikasi : -
ISSN/ISBN : -
Tanggal Rilis :2022-09-01
downloadSejarah permulaan masuk dan perkembangan agama Islam di bumi Kalimantan ––khususnya Kalimantan Selatan–– tidak bisa lepas dari jasa, peranan dan perjuangan dari para ulama dan tokoh-tokoh Islam yang hidup pada masa dahulu. Karena berkat jasa dan perjuangan merekalah Islam berkembang dan menjadi pegangan hidup masyarakat Banjar sekarang. Di samping itu pula kehadiran mereka di Bumi Kalimantan telah menjadikan daerah ini kaya dengan khazanah-khazanah intelektual Islam. Namun sangat disayangkan, tradisi tulis yang belum berkembang secara baik menyebabkan tidak terdokumentasinya secara lengkap khazanah-khazanah intelektual ulama di daerah ini. Dibanding dengan daerah lain, khazanah intelektual Banjar tergolong “miskin”, sehingga ada beberapa tokoh, sejarah hidup, perjuangan, dan pemikiran mereka yang tidak terekspos secara luas riwayat hidup dan perjuangannya dalam penyebaran Islam ke tengah-tengah masyarakat generasi sekarang, seperti halnya dengan ketokohan Syekh atau Datu Qadhi Haji Abdusamad Bakumpai 1 , yang dikenali sebagai ulama besar Banjar-Dayak. Qadhi Abdusshamad merupakan cucu dari ulama besar Kalimantan, Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari. Ayahnya adalah Mufti 2 H Jamaludin bin Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari dan ibunya adalah Samayah binti Sumandi yang merupakan orang Dayak. Qadhi Abdusshamad, lahir 24 Zulkaidah 1237 H atau bertepatan dengan tanggal 12 Agustus 1822 M di Kampung Bakumpai (Kampung Tengah) Marabahan. Sebagaimana kakeknya, yang menggunakan sistem sosial di masyarakat seperti perkawinan dan kaderisasi para ulama keturunan Datu Kalampayan serta penyebaran mereka ke seluruh penjuru negeri, maka Qadhi Abdusshamad juga giat berdakwah, menyebarkan Islam dan menerapkan strategi yang sama dan menurunkan ulama pula. Perkawinan Qadhi Abdusshamad dengan isteri dari kalangan etnis Bakumpai telah juga telah menurunkan ulama penerus antara lain Qadhi H. Muhammad Jafri yang bermakam di jalan Panglima Wangkang, Kampung Tengah, Marabahan dalam areal makam seluas 1872 m2. Qadhi Jafri adalah putera dari Qadhi Abdusshamad Bakumpai bin Mufti H. Jamaluddin Al-Banjari bin Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari. Dilahirkan pada tahun 1262 H dari ibunya yang bernama Markamah bin H. Martaib (Singa Braja). Saudaranya sekandung yang berlainan ibu seperti Zainal Abidin, Abdul Razak dan Abu Thalhah juga dikenal sebagai ulama dan menjadi penerus dari ayah mereka. Guru utama Qadhi Jafri adalah ayahnya sendiri yakni Qadhi Abdusshamad Bakumpai. Oleh karena itu, peran dakwah Islamiyah di kalangan masyarakat Dayak Bakumpai tidak hanya diperankan oleh Qadhi Abdusshamad, melainkan juga oleh anak cucu dan keturunannya yang juga ulama. Ada beberapa hal penting yang mendasari perlunya pengkajian terhadap masalah ini dilakukan: (1) Qadhi Abdusshamad merupakan cucu dari ulama besar Kalimantan, Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari dan merupakan ulama pertama yang menyebarkan Islam pada masyarakat Dayak, terutama Dayak Bakumpai, (2) Qadhi Abdusshamad adalah seorang ulama besar orang Dayak yang menjadi pionir perkembangan Islam pada masyarakatnya. Semasa hidupnya dikenal sebagai seorang ulama yang luas dan tinggi ilmunya serta pernah menjadi qadhi Kerajaan Islam Banjar untuk wilayah Bakumpai, (3) Qadhi Abdusshamad adalah ulama yang juga menguasai ilmu tasawuf, ulama yang wara dan tawadhu’, menghimpun antara syariat, tarekat, dan hakikat, serta syekh dalam tarekat Naqsabandiyah dan Syaziliyah bagi orang-orang Dayak sepanjang DAS Barito. Wilayah sebaran Islamnya meliputi DAS Barito yang penduduk utamanya pada waktu itu adalah orang-orang Dayak. Gerakan Islamisasi yang dilakukan Abdusshamad kemudian menjadikan orang Dayak Bakumpai identik dengan Islam. Apabila, dalam kajian histori dan budaya, untuk region Kalimantan, Banjar yang Muhammad Arsyad Al-Banjari dan ibunya adalah Samayah binti Sumandi yang merupakan orang Dayak. Qadhi Abdusshamad, lahir 24 Zulkaidah 1237 H atau bertepatan dengan tanggal 12 Agustus 1822 M di Kampung Bakumpai (Kampung Tengah) Marabahan. Sebagaimana kakeknya, yang menggunakan sistem sosial di masyarakat seperti perkawinan dan kaderisasi para ulama keturunan Datu Kalampayan serta penyebaran mereka ke seluruh penjuru negeri, maka Qadhi Abdusshamad juga giat berdakwah, menyebarkan Islam dan menerapkan strategi yang sama dan menurunkan ulama pula. Perkawinan Qadhi Abdusshamad dengan isteri dari kalangan etnis Bakumpai telah juga telah menurunkan ulama penerus antara lain Qadhi H. Muhammad Jafri yang bermakam di jalan Panglima Wangkang, Kampung Tengah, Marabahan dalam areal makam seluas 1872 m2. Qadhi Jafri adalah putera dari Qadhi Abdusshamad Bakumpai bin Mufti H. Jamaluddin Al-Banjari bin Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari. Dilahirkan pada tahun 1262 H dari ibunya yang bernama Markamah bin H. Martaib (Singa Braja). Saudaranya sekandung yang berlainan ibu seperti Zainal Abidin, Abdul Razak dan Abu Thalhah juga dikenal sebagai ulama dan menjadi penerus dari ayah mereka. Guru utama Qadhi Jafri adalah ayahnya sendiri yakni Qadhi Abdusshamad Bakumpai. Oleh karena itu, peran dakwah Islamiyah di kalangan masyarakat Dayak Bakumpai tidak hanya diperankan oleh Qadhi Abdusshamad, melainkan juga oleh anak cucu dan keturunannya yang juga ulama. Ada beberapa hal penting yang mendasari perlunya pengkajian terhadap masalah ini dilakukan: (1) Qadhi Abdusshamad merupakan cucu dari ulama besar Kalimantan, Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari dan merupakan ulama pertama yang menyebarkan Islam pada masyarakat Dayak, terutama Dayak Bakumpai, (2) Qadhi Abdusshamad adalah seorang ulama besar orang Dayak yang menjadi pionir perkembangan Islam pada masyarakatnya. Semasa hidupnya dikenal sebagai seorang ulama yang luas dan tinggi ilmunya serta pernah menjadi qadhi Kerajaan Islam Banjar untuk wilayah Bakumpai, (3) Qadhi Abdusshamad adalah ulama yang juga menguasai ilmu tasawuf, ulama yang wara dan tawadhu’, menghimpun antara syariat, tarekat, dan hakikat, serta syekh dalam tarekat Naqsabandiyah dan Syaziliyah bagi orang-orang Dayak sepanjang DAS Barito. Wilayah sebaran Islamnya meliputi DAS Barito yang penduduk utamanya pada waktu itu adalah orang-orang Dayak. Gerakan Islamisasi yang dilakukan Abdusshamad kemudian menjadikan orang Dayak Bakumpai identik dengan Islam. Apabila, dalam kajian histori dan budaya, untuk region Kalimantan, Banjar yang
No Katalog : -
No Publikasi : -
ISSN/ISBN : -
Tanggal Rilis :2022-09-01
downloadKehidupan manusia yang berhubungan dengan siklus hidupnya merupakan suatu pola dari kelakuan manusia dan menjadi adat istiadat dalam masyarakat. Pola dari kelakuan tersebut diwariskan secara turuntemurun dari generasi ke generasi berikutnya. Siklus hidup yang dimaksudkan adalah lingkaran hidup yang dialami manusia sejak mereka dilahirkan sampai kematian. Dalam perjalanannya, siklus kehidupan ini ditandai dengan berbagai peristiwa atau tingkat-tingkat sepanjang hidupnya, yang meliputi masa bayi, masa kanak-kanak, masa remaja, sesudah menikah, masa hamil, masa tua, kematian dan sebagainya (Koentjaraningrat, 1992:89). Dalam masyarakat yang masih tradisional, bahkan yang sudah modern sekalipun, peralihan masa dalam kehidupannya dianggap penting. Meski istilah yang digunakan berbeda-beda pada pelbagai etnis di Indonesia, pada dasarnya upacara daur hidup yang mereka laksanakan pada dasarnya adalah untuk menandai peralihan dalam siklus kehidupannya. Mereka menganggap bahwa setiap tingkat dalam kehidupan membawa seorang individu ke dalam tingkat sosial yang baru dan lebih luas. Oleh karenanya, setiap peralihan tersebut ditandai dengan upacara-upacara tertentu. Masyarakat Banjar di Kalimantan Selatan merupakan salah satu suku di Indonesia yang menjalankan berbagai upacara. Dalam buku Urang Banjar dan Kebudayaannya (2005) dijelaskan bahwa pelbagai upacara yang dilaksanakan masyarakat Banjar terkait dengan dua hal, Upacara Daur Hidup Masyarakat Suku Banjar 2 yakni upacara yang berkaitan dengan daur hidup, dan upacara yang berkaitan dengan alam dan kepercayaan. Meski upacara daur hidup dibedakan dengan upacara yang berkaitan dengan dengan alam dan kepercayaan, pada prinsifnya pelbagai upacara daur hidup yakni siklus kehidupan sejak masa kehamilan, masa kanak-kanak, menjelang dewasa, perkawinan dan kematian sangat erat kaitannya dengan alam, kepercayaan lama, atau agama Islam yang dianut masyarakat Banjar. Banyak makna, simbol, kearifan, atau unsur kepercayaan yang terkandung dalam pelbagai upacara daur hidup masyarakat Banjar yang menandakan adanya interaksi atau persinggungan budaya antara kepercayaan lama dan Islam. Persinggungan itu dapat dipahami jika kita melihat proses Islamisasi pada masyarakat Banjar pra-Islam yang tidak serta merta menghapus pelbagai upacara yang terkait dengan kepercayaan lama, melainkan memberikan atau mengisinya dengan nilainilai Islam. Pelbagai adat istiadat atau upacara-upacara yang berkaitan dengan kepercayaan lama itu, pada kenyataannya sampai sekarang pun masih ada di daerah tertentu, akan tetapi budaya lokal itu kemudian berakulturasi dengan nilai Islam misalnya pada tradisi tolak bala, tradisi batapung tawar kehamilan, mandi tian mandaring (bapagar mayang), mandi baya, bapalas bidan, Ba-ayun maulid dan lain sebagainya yang merupakan suatu bentuk perpaduan antara tradisi lama dan Islam. Berdasarkan kenyataan demikian, tepat apabila dikatakan bahwa upacara daur hidup suku Banjar di Kalimantan Selatan merupakan wadah pertemuan antara Islam dan budaya yang terjalin melalui berbagai proses adaptasi, akulturasi dan asimilasi, meski disadari bahwa pengaruh Islam dan unsur kepercayaan lama tidak sama pada masing-masing upacara tersebut. Upacara-upacara daur hidup hingga kini memang masih ada, namun pada upacara-upacara tertentu semakin jarang dilaksanakan, Upacara Daur Hidup Masyarakat Suku Banjar 3 kecuali pada masyarakat perdesaan yang memang kehidupan masyarakatnya yang masih kental mempraktikkan budaya dan adat istiadat Banjar. Kebudayaan Banjar terus mengalami perubahan melalui berbagai kontak budaya, disamping dampak modernisasi, kemajuan teknologi informasi, komunikasi, dan transportasi yang juga berimbas kepada pergeseran nilai-nilai budaya lokal. Berbagai pergeseran budaya sebagai dampak dari modernisasi merupakan suatu fenomena yang patut untuk dicermati dan diantisipasi sebagai suatu alasan bahwa pentingnya adanya kajian untuk menggali, mengangkat, melestarikan berbagai upacara daur hidup suku Banjar di Kalimantan Selatan.
No Katalog : -
No Publikasi : -
ISSN/ISBN : -
Tanggal Rilis :2022-08-31
downloadRumah di bantaran sungai apabila tidak diiringi dengan pemeliharaan sanitasi lingkungan, berpotensi mengakibatkan pencemaran sungai. Kondisi ini juga dapat menghasilkan berbagai permasalahan sanitasi lingkungan pada permukiman di bantaran sungai. Kabupaten Hulu Sungai Selatan memiliki 3 topologi daerah, yaitu daerah pegunungan, daerah dataran (kota) dan daerah rawa. Daerah rawa menjadi salah satu lokus permasalahan sanitasi dan air minum. Daerah rawa ini didominasi kehidupan masyarakat di bantaran sungai. Pada dasarnya ketidaktahuan masyarakat akan pentingnya mengelola limbah secara baik agar tidak mencemari lingkungan menjadi faktor yang mempengaruhi kebiasaan buruk Buang Air Besar Sembarangan (BABS). Tidak banyak yang menyadari bahwa sanitasi buruk pun memperbesar ancaman kesehatan generasional, seperti stunting. Tripikon-S (Tri/Tiga Pipa Konsentris-Septik) merupakan salah satu alternatif pengolahan air limbah domestik. Teknologi ini dikembangkan untuk menjawab tantangan kondisi lingkungan yang dihadapi didaerah yang terpengaruh pasang surut seperti misalnya daerah pesisir pantai, muara sungai, maupun rawa. Teknologi ini dapat diterapkan untuk toilet individual atau komunal. WC Tripicon S sudah dimanfaatkan di Desa Muning Baru, dan Desa Pihanin Raya Kabupaten Hulu Sungai Selatan, namun untuk pengembangan selanjutnya perlu dilakukan : Optimalisasi penyuluhan dan pembinaan masyarakat lebih khusus di bantaran sungai demi meningkatkan kesadaran untuk berperilaku hidup bersih dan sehat , Memberikan dukungan lebih besar pada kegiatan penyediaan sarana sanitasi buat masyarakat miskin, Pemanfaatan WC Tripicon S yang lebih masif sebagai sarana sanitasi di bantaran sungai dengan pembinaan dalam teknis pemasangan serta pemeliharaanya, Penelitian lebih dalam tentang efektifitas dan efisiensinya WC Tripicon, dan Pengembangan WC Tripicon S baik secara model/konstruksi ataupun penggunaan bahan lain.
No Katalog : -
No Publikasi : -
ISSN/ISBN : -
Tanggal Rilis :2022-08-24
downloadNegara kita adalah negara agraris terbesar di dunia dan pertanian menjadi mata pencaharian mayoritas penduduk. Pemerintah Indonesia berupaya untuk setiap tahun harus ada perkembangan ke arah yang lebih baik di sektor pertanian agar bisa mendapatkan apa yang ditargetkan sejak awal. Target lumbung pangan dunia adalah ambisi besar. Ambisi pemerintah Indonesia ini tentunya tidaklah salah mengingat bagaimana Indonesia yang kaya akan sumber daya alam bisa mendapatkan itu semua jika dikelola dengan baik dan benar. Keseriusan dalam mengembangkan sektor pertanian wajib dilakukan agar Indonesia tidak lagi tertinggal dari negara lain Kabupaten Hulu Sungai Selatan seperti diketahui memiliki luas wilayah 1.805 km persegi. Kabupaten yang beribukota Kandangan dan berpenduduk 232.857 jiwa tahun 2020 dan memiliki 38 297 petani sesuai hasil Sensus Pertanian Tahun 2013. Dilihat dari besaran distribusi persentase PDRB Tahun 2020 di Kabupaten Hulu Sungai Selatan maka sektor pertanian merupakan sektor terbesar dalam struktur ekonomi kabupaten. Sektor pertanian ini mencapai angka 24,57%. Permasalahan yang dihadapi dalam upaya peningkatan produktivitas pertanian di Kabupaten Hulu Sungai Selatan adalah : Sumber Daya Lahan, Sumber Daya Manusia, Sarana/Prasarana dan Penguasaan Teknologi Pertanian, Perubahan Iklim, Bencana Alam, dan Gangguan lainnya, Permodalan/Pembiayaan Bagi Petani dan Inovasi teknologi baru yang tidak spesifik lokasi Secara umum dapat diambil kebijakan dalam peningatan produktivitas dengan metode : intensifikasi pertanian, diversifikasi produk pertanian, pemanfaatan lahan rawa dan pemberian alat dan mesin pertanian dari pemerintah. Serta pentingnya pemanfaatan inovasi dan teknologi tepat guna spesifik lokasi dengan memperhatikan kearifan lokal masyarakat, seperti padi apung dan pemanfaatan kayapu di rawa
No Katalog : -
No Publikasi : -
ISSN/ISBN : -
Tanggal Rilis :2022-08-21
downloadMenurut UU 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, kata Bencana diartikan sebagai Peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan baik oleh faktor alam,dan/atau faktor non alam, maupun faktor manusia; sehingga mengakibatkan korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Banjir adalah peristiwa tergenangnya daratan yang biasannya kering oleh karena volume air pada suatu badan air meningkat. Banjir di Kabupaten Hulu Sungai Selatan secara frekuensinya semakin meningkat setiap tahunnya. Sehingga perlu dilakukan mitigasi bencana dan penaganan lebih awal, detail dan terpadu. Adapun Mitigasi adalah upaya yang dilakukan untuk mengurangi risiko dan dampak yang diakibatkan oleh bencana terhadap masyarakat di kawasan rawan bencana, baik itu bencana alam, atau akibat ulah manusia. Kalau dilihat dari data BPBD Provinsi Kalimantan Selatan pada Tahun 2020 di Kabupaten Hulu Sungai Selatan terjadi 21 bencana sedangkan di Tahun 2021 terjadi peningkatan menjadi 58 bencana. Dan salah satu bencana itu adalah Banjir. Faktor penyebab banjir di Kabupaten Hulu Sungai Selatan adalah IKLIM (Curah Hujan dan Anomali Cuaca) dan BIOGEOFISIK (Manusia, Tutupan Lahan, Topografi, Erosi & Longsor) Kebijakan yang setidaknya dapat diambil oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Hulu Sungai Selatan adalah dengan menerapkan Strategi Mitigasi sebagai berikut : 1. Mitigasi harus diintegrasikan dalam program pembangunan yg lebih besar 2. Pemilihan upaya mitigasi harus didasarkan atas biaya dan manfaat. 3. Agar dapat diterima masyarakat, mitigasi harus menunjukkan hasil yang segera tampak. 4. Upaya mitigasi harus dimulai dari yang mudah dilaksanakan segera setelah bencana 5. Meningkatkan kemampuan lokal dalam manajemen dan perencanaan