No Katalog : -
No Publikasi : -
ISSN/ISBN : -
Tanggal Rilis :2008-09-01
downloadPada diri seorang Artum Artha terdapat beberapa talenta. Beliau dikenal sebagai seorang sastrawan (penyair), wartawan, dan budayawan. Pada masa muda, beliau juga seorang yang pernah aktif dalam pergerakan kebangsaan seperti menjadi guru bantu Sekolah Medan Antara di Kandangan, memasuki kepanduan, aktivis organisasi politik Parindra, dan organisasi lainnya. Aktivitas itu terus berlanjut pada masa perjuangan mempertahankan kemerdekaan di Kalimantan Selatan 1945- 1949. Pada periode ini beliau turut berkecimpung dengan membentuk Gerakan Pemuda Republik Indonesia (GEPERINDO), dan menjadi staf Penerangan/Keuangan ALRI Divisi IV Pertahanan Kalimantan, sebuah organisasi kelaskaran terbesar di Kalimantan Selatan. Meski Artum Artha bukan termasuk salah seorang yang mendapat pengakuan dari Pemerintah (Departemen Sosial RI) sebagai perintis atau veteran pejuang kemerdekaan. Kenyataannya beliau adalah seorang yang turut berperan dalam merintis, merebut, dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia di Kalimantan Selatan. Aktivitas yang bersifat kontra pemerintah kolonial itulah yang mengakibatkan beliau beberapa kali merasakan ditangkap, diperiksa, dan bahkan ditahan di penjara yang sempit dan pengap oleh aparat pemerintah Hindia Belanda. Pak Artum, demikian seringkali beliau dipanggil, sebenarnya lebih dikenal sebagai seorang wartawan kawakan, baik sebagai pimpinan, staf redaksi, atau koresponden surat kabar atau majalah. Karir puncak sebagai wartawan adalah ketika beliau menjadi Ketua PWI Cabang 6 Kalimantan Selatan periode 1961-1963. Selain sebagai seorang wartawan dan penulis berita, beliau juga aktif menulis dan mempublikasikan puisi, cerpen, esai sastra, dan roman/novel yang dilakukannya sejak 1937, sehingga beliau dikenal pula sebagai penyair yang handal. Beliau juga seorang yang sangat peduli terhadap kebudayaan dan sejarah lokal Kalimantan Selatan sebagaimana tercermin pada karya tulis yang dihasilkan dan aktivitasnya secara langsung dalam kegiatan pelestarian benda peninggalan sejarah dan purbakala seperti memimpin Museum Banjar 1967-1972, turut aktif memperjuangkan Pangeran Antasari dan Brigjend H. Hassan Basry sebagai Pahlawan Nasional. Banyak penghargaan/piagam yang diterimanya dari berbagai kalangan. Sebagai penulis, beliau pernah menjadi Juara I Sayembara Karang Mengarang “Pemuda Harapan Bangsa” yang diselenggarakan oleh Jawatan Penerangan Provinsi Kalimantan di Banjarmasin tahun 1950. Beliau juga pernah mendapatkan penghargaan Hadiah Seni dari Gubernur KDH Tk. I Provinsi Kalimantan Selatan (Soebardjo Surosarodjo) pada tanggal 17 Agustus 1973, atas prestasi, reputasi, dan dedikasinya yang menonjol di bidang penggalian kebudayaan daerah Banjar di Kalimantan Selatan. Sebagaimana dikatakan sendiri oleh beliau bahwa aktivitas sebagai seorang wartawan, koresponden, reporter, penyair, penulis atau pengarang mendorongnya memiliki banyak sahabat atau kenalan, di lembaga swasta maupun pemerintah, di kalangan masyarakat luas maupun di dunia politik. Dunia politik bukanlah dunia yang asing baginya. Setidaknya pengalaman sebagai aktivis organisasi pergerakan dan luasnya pergaulan menjadi modal baginya 7 saat menjabat sebagai Ketua DPRD Kotapradja Banjarmasin 1954-1961. Paparan yang dikemukakan di atas, hanyalah sekelumit dari kisah perjalanan hidup seorang Artum Artha. Banyak hal-hal lainnya yang perlu diungkapkan dan dikomunikasikan kepada masyarakat. Oleh karena itulah, buku ini disajikan dengan maksud untuk menampilkan perjalanan Artum Artha secara lebih luas. Maksud penulisan buku dengan mengangkat kisah hidup seseorang tidaklah dimaksudkan untuk “menyanjung” apalagi mengkultuskan seorang tokoh. Sama sekali tidak demikian. Latar belakang penulisan riwayat hidup seorang dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa daerah Kalimantan Selatan sesungguhnya mempunyai tokoh yang layak diangkat perjalananan hidupnya sebagai sebuah kisah sejarah. Selama ini, seakan-akan Kalimantan Selatan kering dengan tokoh sejarah lantaran kurangnya buku biografi, autobiografi, atau memoar tokoh lokal yang ditemui di perpustakaan maupun toko buku di daerah ini. Sementara buku sejenis yang menampilkan tokoh lokal daerah lain banyak dan mudah didapatkan. Kondisi demikian, tentu saja akan berdampak kepada minimnya pengetahuan masyarakat terhadap tokoh panutan dari daerah sendiri. Sehubungan dengan itu, maka penulisan dan penerbitan biografi, autobiografi, atau memoar tokoh Kalsel sudah selayaknya untuk dilaksanakan. Buku ini mengambil judul “Artum Artha: Sastrawan, Wartawan, dan Budayawan Kalimantan Selatan”. Judul tersebut sengaja diambil untuk menampilkan aktivitas yang menonjol pada diri Pak Artum, meski disadari beliau sebenarnya pernah pula berkiprah di dunia politik seperti 8 anggota beberapa organisasi politik sebelum dan sesudah proklamasi kemerdekaan. Bahkan beliau pernah menjabat sebagai Ketua DPRD Kotapraja Banjarmasin. Selain itu, isi buku ini lebih bersifat memoar yang redaksinya disusun sedemikian rupa dengan pola “bertutur” sehingga seperti sebuah autobiografi, atau dengan kata lain lebih mencerminkan publikasi dari sebuah “naskah sumber” yang barangkali dapat digunakan sebagai data untuk penulisan sejarah/biografi yang sesungguhnya atau petunjuk bagi kajian selanjutnya. Meski buku ini memaparkan kisah hidup seorang Artum Artha, hanya sedikit yang dapat diungkapkan mengenai perjalanan hidupnya dari masa kecil hingga meninggal di tahun 2003 yakni dari masa Penjajahan Hindia Belanda, masa Pendudukan Jepang, dan masa pemerintahan NICA/Perang Kemerdekaan, dan masa di alam kemerdekaan. Kebanyakan informasi tentang Artum Artha bersumber dari dokumen, buku, dan memoar beliau sendiri yang penulis cantumkan judulnya dalam daftar pustaka, dan sebagian lagi berasal dari beberapa pustaka yang dihasilkan oleh penulis lainnya. Untuk mengetahui sosok Artum Artha secara lebih “utuh” tentu saja buku ini belum memadai, apalagi jika menyangkut pemikiran, atau gagasan beliau di bidang kebudayaan. Oleh karena itu, saya mengajak kepada para pembaca untuk menggali pemikiran atau gagasan beliau melalui buku atau karya tulis yang pernah beliau hasilkan. Pengumpulan dan rekonstruksi kembali data-data tentang kehidupan Artum Artha, bukanlah pekerjaan yang mudah. Meski naskah buku ini telah dipersiapkan sejak tahun 2004 sampai purnanya buku ini di awal 2008, masih ada beberapa hal yang belum terungkap dengan jelas. Belum 9 lagi adanya kemungkinan adanya kelemahan bahkan mungkin kesalahan. Namun saya meyakinkan kepada para pembaca bahwa kelemahan atau kesalahan itu pastilah tidak disengaja. Selesainya buku ini tidak terlepas dari berbagai bantuan. Oleh karena itu, sudah sepantasnyalah saya mengucapkan terima kasih kepada semua pihak seperti bapak Yusni Antemas (Anggraini Antemas) yang telah memberikan beberapa informasi berharga, terutama sekali kepada keluarga besar Artum Artha, seperti ibu Saniah yang telah mengizinkan saya untuk mengangkat perjalanan hidup Artum Artha, dan juga kepada saudara Aidin Nasydiansyah yang telah berkenan membantu menghimpun berbagai dokumen dan meminjamkannya kepada saya untuk menyusun buku ini. Semoga buku ini bermanfaat
No Katalog : -
No Publikasi : -
ISSN/ISBN : -
Tanggal Rilis :2008-04-01
downloadPenyusunan buku Glosarium Sejarah Lokal Kalimantan Selatan, Periode 1900-1950 dimaksudkan untuk memperoleh pengetahuan tentang Sejarah Lokal Kalimantan Selatan dengan cara lebih mudah. Penyusun menyebutnya “memperoleh pengetahuan” bukan “memperoleh pemahaman”, karena untuk memahami peristiwa sejarah dengan sebab musabab yang melatarbelakanginya, tidaklah cukup dengan hanya membaca daftar istilah dan penjelasannya (glosarium) yang bersifat pragmentaris, seperti yang terdapat dalam buku ini. Glosarium sejarah lokal sebagaimana terdapat dalam buku ini bukanlah penerjemahan atau definisi baku apalagi dimaksudkan sebagai ensiklopedi, melainkan pemaknaan yang dianggap sesuai untuk menjelaskan sebuah kata atau istilah yang berkaitan dengan sejarah lokal dalam berbagai aspek seperti ekonomi, pemerintahan, pendidikan, pers, organisasi pergerakan, tempat, nama, pelaku peristiwa sejarah, dan hal lainnya. Sesuai judul, maka isi buku ini hanya memuat glosarium dari tahun 1900 sampai dengan 1950. Dalam rentang waktu tersebut terdapat tiga babakan yang dalam sejarah Indonesia dikenal sebagai Periode Pergerakan Kebangsaan (Perintis Kemerdekaan), Periode Pendudukan Jepang, dan Periode Perang Kemerdekaan (Revolusi Fisik), sampai dengan Pengakuan Kedaulatan di tahun 1950. Para sejarawan di Kalimantan Selatan menyimpulkan bahwa awal periode Pergerakan Kebangsaan di daerah ini adalah tahun 1901 saat dimana cikal bakal organisasi yang bersifat teratur lahir di Banjarmasin yakni Seri Budiman. Organisasi ini memang bersifat sinoman dan sama sekali belum mengarah kepada kebangsaan, akan tetapi organisasi ini dapat dipandang sebagai pendorong kemunculan organisasi berikutnya yang lebih modern. Pada proses perkembangannya, organisasi pergerakan di Kalimantan Selatan tidak hanya bersifat lokal dan “primordial”, tetapi juga tumbuh organisasi yang berlingkup regional maupun nasional yang bergerak di bidang politik untuk mencapai kemerdekaan. Perkembangan organisasi pergerakan di vi Kalimantan Selatan dapat dikatakan berakhir dengan masuknya tentara pendudukan Jepang di Kalimantan Selatan pada tahun 1942.
No Katalog : -
No Publikasi : -
ISSN/ISBN : -
Tanggal Rilis :2007-01-01
downloadJenderal Besar A.H. Nasution dalam bukunya Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia, Jilid 4 Periode Linggajati, menyatakan bahwa: Persetujuan Linggajati merupakan satu tamparan yang terhebat terhadap perjuangan kemerdekaan di Kalimantan. Dengan resmi Pemerintah Republik melepaskan pulau yang besar yang rakyatnya tidak sudi dipisahkan dari Republik Indonesia dan berkorban demikian berat untuk tujuan itu. Dengan itu pula Belanda dapat memulai ofensif militer dan politiknya yang lebih hebat untuk menekan dan menghancurkan para gerilyawan.1 Persetujuan Linggajati2 memang menimbulkan reaksi pro dan kontra, bukan hanya di Indonesia juga di negeri Belanda. Dalam Persetujuan Linggajati, Belanda hanya mengakui kekuasaan de facto Republik Indonesia atas Jawa, Madura, dan Sumatera.3 Menurut penafsiran pihak Pemerintah Indonesia, Persetujuan Linggajati merupakan perjanjian internasional, sehingga pengakuan yang diberikan bukan pengakuan de facto akan tetapi pengakuan de jure. Dengan demikian, Pemerintah Republik Indonesia secara sadar dan resmi (baca: de jure) telah melepaskan pulau Kalimantan untuk menjadi wilayah jajahan Belanda. Akibat politis dan yuridis dari Persetujuan Linggajati adalah status Provinsi dan Gubernur Kalimantan yang dibentuk tidak lama setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 tidak lagi relevan atau tidak sah.4 Konsekuensinya terhadap militer adalah semua satuan tentara Republik yang ada di luar Jawa dan Sumatera harus dibubarkan. Selaras dengan Persetujuan Linggajati, Ir. Pangeran Mohammad Noor berhenti menjadi Gubernur Kalimantan, 2 sedangkan Markas Besar Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI) Divisi IV Pertahanan Kalimantan di Tuban dilikuidasi dan dirubah statusnya menjadi menjadi Mobiele Brigade ALRI bermarkas di Madiun. Dengan demikian, secara organisatoris maupun politis terputuslah hubungan kesatuan kelaskaran yang ada di Kalimantan dengan induknya di Jawa, dan para pejuang gerilya di Kalimantan Selatan harus berjuang sendiri termasuk dalam pengadaan senjata.5 Persetujuan Linggajati bukan sekedar pengakuan kekuasaan de facto Republik Indonesia atas Jawa, Madura, dan Sumatera, karena sesungguhnya persetujuan itu merupakan taktik dan strategi Belanda untuk mengembalikan kedaulatannya di Hindia Belanda melalui gerakan federalisme yang digagas oleh Dr. H.J. van Mook, Letnan Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Batavia (Jakarta). Melalui gerakan federalisme, Van Mook berusaha membentuk apa yang kemudian dikenal dengan negara-negara boneka (negara bagian) dan menjadikan Republik Indonesia menjadi salah satu negara bagian dalam sebuah negara federal, dan apabila berhasil maka penguasaan wilayah seluruh kepulauan Nusantara dianggap selesai.6 Untuk merealisasikan ide federalisme7, Belanda berupaya keras mendirikan negara-negara di wilayah yang dikuasainya. Sampai saat “Pengakuan Kedaulatan” (transfer of sovereignty) 8 Pemerintah Belanda berhasil membentuk beberapa negara bagian dalam bentuk “negara” maupun “daerah istimewa”,9 akan tetapi tidak termasuk di dalamnya Negara Borneo (Kalimantan) sebagaimana dikehendaki dalam Pasal 4 Ayat 1 Persetujuan Linggajati. Pemerintah Belanda memang tidak begitu saja dengan mudah membentuk Negara Kalimantan di wilayah yang secara de facto dan de jure dikuasainya. Oleh karena itu, pemerintah Belanda terlebih dahulu membentuk daerah-daerah otonom dengan dewannya masing-masing, sehingga terbentuknya Negara Kalimantan nantinya seolah-olah atas kehendak rakyat Kalimantan sendiri. Di Kalimantan Selatan (Residentie van Zuid- 3 Borneo), politik federalisme itu mengakibatkan rakyat terbagi sikapnya di dalam tiga golongan, yakni yang pro Belanda, golongan federalisme dan golongan unitarisme.10 Golongan yang menghendaki unitarisme atau yang menentang federalisme pada prinsipnya berjuang dengan dua cara yakni cara legal maupun iilegal. Cara legal ditempuh kaum politisi melalui jalur parlementer dengan menggunakan partaipartai yang ada. Sepak terjang mereka dapat dilihat dalam Dewan Banjar yang meski dibentuk oleh Belanda untuk menjalankan pemerintahan sipil di Daerah Banjar, haluannya dapat dikuasai para anggota dewan yang pro republik. Cara kedua, yang bersifat ilegal dan militairisctic diisi oleh rakyat terutama golongan yang berpendirian: politik lawan politik dan senjata lawan senjata. Gerakan militer ini dipimpin oleh Hassan Basry dari kesatuan ALRI Divisi IV Pertahanan Kalimantan yang beroperasi di desa-desa utamanya desa pinggiran dalam daerah Kalimantan bagian Selatan, Tengah, dan Tenggara. Menghadapi kondisi yang secara politis maupun militer yang sangat tidak mendukung, karena harus berjuang sendirian dan secara resmi pula ditinggalkan oleh pemerintah Republik, maka para gerilyawan di daerah ini tetap berusaha menunjukkan eksistensinya berjuang menegakkan kemerdekaan dengan berbagai cara dan semangat yang membara. Pelan namun pasti, gerakan perlawanan bersenjata semakin membuahkan hasil nyata. Jika pada kurun sampai tahun 1947 perlawanan bersenjata yang dilakukan belum begitu membuahkan hasil karena kondisi yang sangat luar biasa sulit bahkan hampir terhenti,11 maka sejak akhir tahun 1948 para gerilyawan di Kalimantan Selatan yang tergabung dalam ALRI Divisi IV Pertahanan Kalimantan mulai berhasil mendesak kedudukan KL, KNIL, dan Polisi NICA dan memiliki kekuasaan teritorial yang semakin luas, sehingga praktis Belanda hanya berkuasa di kotakota besar saja. 4 Di segi militer, ALRI Divisi IV tidak hanya menguasai daerah pedalaman, tetapi pengaruhnya terasa pula di pusat pemerintahan Kalimantan Selatan, Banjarmasin. Belanda hanya mungkin melakukan perjalanan ke pedalaman dalam konvoi dan pengawalan yang ekstra. Di Banjarmasin sendiri mereka harus waspada terhadap serangan-serangan gerilyawan. Sesungguhnya dalam paruh kedua tahun 1949 ALRI Divisi yang telah bersimaharajalela di Kalimantan Selatan.12 Pada tanggal 17 Mei 1949, yakni seminggu sesudah Penandatanganan Persetujuan Rum-Royen, Hassan Basry memproklamasikan pembentukan Pemerintahan Gubernur Tentara ALRI. Proklamasi itu mengakibatkan terjadinya dualisme pemerintahan dan kekuasaan teritorial yang mana pihak pemerintah Gubernur Tentara lebih berkuasa dibandingkan dengan Belanda. Dengan proklamasi tersebut, ALRI Divisi IV bermaksud untuk memperlihatkan keberadaan, kekuatan dan kemampuannya untuk menyusun suatu pemerintahan dalam lingkungan Republik Indonesia, meski menurut Persetujuan Linggajati dan Renville secara de facto dan de jure Kalimantan merupakan jajahan Belanda. Selain bermakna sebagai pernyataan kesetiaan kepada Pemerintah Republik Indonesia yang sebelumnya secara resmi telah meninggalkan Kalimantan melalui Persetujuan Linggajati, maka proklamasi itu juga dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa “Daerah Otonom Kalimantan Tenggara dan Banjar” yang telah diciptakan Belanda sebagai upaya awal untuk mendirikan “Negara Kalimantan”, tidak lebih hanyalah fiksi di atas kertas dan sama sekali tidak berwujud nyata.13 Dari paparan di atas terlihat adanya keterkaitan antara Persetujuan Linggajati dengan munculnya Proklamasi 17 Mei 1949. Keterkaitan itu bukan semata berupa adanya perjuangan bersenjata yang bermuara kepada munculnya proklamasi tersebut, atau bukan serta merta bertujuan untuk menegakkan kemerdekaan Republik Indonesia di Kalimantan Selatan, tetapi 5 juga untuk menggagalkan usaha-usaha Belanda yang hendak menguasai dan memisahkan Kalimantan Selatan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia melalui politik pembentukan negara federal (federalisme) sebagaimana tertuang dalam Persetujuan Linggajati. Meski demikian, paparan di atas hanyalah gambaran sekilas tentang hubungan Persetujuan Linggajati dengan Proklamasi Gubernur Tentara ALRI Divisi IV Pertahanan Kalimantan tanggal 17 Mei 1949, dan pada bab-bab selanjutnya akan dipaparkan lebih lanjut dan mendalam tentang keterkaitan dimaksud.
No Katalog : -
No Publikasi : -
ISSN/ISBN : -
Tanggal Rilis :2006-10-02
downloadPertengahan pertama abad ke-20 merupakan puncak dari kolonialisme dan imperialisme di Indonesia. Pada saat bersamaan, awal abad ke-20 juga dikenang sebagai masa tumbuh dan berkembangnya nasionalisme. Kolonialisme dan imperialisme maupun tumbuhnya nasionalisme Indonesia, sesungguhnya berakar pada dinamika abad ke-19. Abad ke-19 bukan saja dikenal sebagai masa jayanya kolonialisme yang merupakan suatu gejala umum sejarah dunia maupun kepulauan Indonesia waktu itu, ketika penetrasi, eksploitasi, intensifikasi, dan ekspansi kolonial berjalan dengan sangat intens. Akan tetapi, pada saat bersamaan terjadi pula berbagai corak perlawanan terhadap kolonial. Hampir tak ada satu daerah pun yang terbebas dari konfrontasi kolonial itu, termasuk di Kalimantan Selatan berupa Perang Banjar (1859-1906).1 Perang Banjar yang mulai meletus tahun 1859 pada hakikatnya merupakan perlawanan rakyat di Kalimantan Selatan terhadap usaha-usaha Belanda yang meluaskan hegemoninya menjadi dominasi.2 Bermula dari campur tangannya dalam suksesi keraton, maka Pemerintah Hindia Belanda mulai berusaha memperluas kekuasaannya di Kalimantan. Ekspedisi–ekspedisi dikirimkan ke daerah, bukan hanya untuk menumpas para pejuang Banjar, namun juga untuk memperluas kekuasaan, baik secara teritorial maupun secara administratif. Ekspedisi itu juga bertujuan untuk menentukan batas kawasan yang dihaki oleh Belanda, sebagai antisipasi kemungkinan perluasan hegemoni Inggeris yang ketika itu telah mempunyai pengaruh kuat di Kerajaan Brunei dan Kerajaan Sarawak di Kalimantan Utara,3 serta dalam rangka politik pembulatan wilayah (afrondingspolitiek) sehingga terbentuk Pax Neerlandica.4 Dalam menghadapi perlawanan, selain dengan kekuatan senjata, secara sepihak Belanda juga menghapuskan Kerajaan Banjar pada 11 Juni 1860. Secara administratif, bekas wilayah kerajaan Banjar yang dihapuskan, sejak 1865 dijadikan Belanda Keresidenan Afdeling Selatan dan Timur Borneo (Residentie Zuider en Oosterafdeling van Borneo). Seiring dengan semakin dikuasainya wilayah Kerajaan Banjar sampai perlawanan benar-benar berakhir pada tahun 1906, maka dengan leluasa Belanda menerapkan semua kebijakan kolonialnya baik di bidang politik, ekonomi, sosial, maupun budaya. Kebijakan yang dikeluarkan itu seringkali membawa perubahan dan kegoncangan dalam kehidupan masyarakat di Kalimantan Selatan. Di saat situasi dan kondisi rakyat terjajah sangat menderita karena penindasan yang dilakukan pemerintah kolonial, maka tampillah kaum elite baru yang memiliki kesadaran dan merasakan ketidakadilan terhadap pribumi. hegemoninya menjadi dominasi.2 Bermula dari campur tangannya dalam suksesi keraton, maka Pemerintah Hindia Belanda mulai berusaha memperluas kekuasaannya di Kalimantan. Ekspedisi–ekspedisi dikirimkan ke daerah, bukan hanya untuk menumpas para pejuang Banjar, namun juga untuk memperluas kekuasaan, baik secara teritorial maupun secara administratif. Ekspedisi itu juga bertujuan untuk menentukan batas kawasan yang dihaki oleh Belanda, sebagai antisipasi kemungkinan perluasan hegemoni Inggeris yang ketika itu telah mempunyai pengaruh kuat di Kerajaan Brunei dan Kerajaan Sarawak di Kalimantan Utara,3 serta dalam rangka politik pembulatan wilayah (afrondingspolitiek) sehingga terbentuk Pax Neerlandica.4 Dalam menghadapi perlawanan, selain dengan kekuatan senjata, secara sepihak Belanda juga menghapuskan Kerajaan Banjar pada 11 Juni 1860. Secara administratif, bekas wilayah kerajaan Banjar yang dihapuskan, sejak 1865 dijadikan Belanda Keresidenan Afdeling Selatan dan Timur Borneo (Residentie Zuider en Oosterafdeling van Borneo). Seiring dengan semakin dikuasainya wilayah Kerajaan Banjar sampai perlawanan benar-benar berakhir pada tahun 1906, maka dengan leluasa Belanda menerapkan semua kebijakan kolonialnya baik di bidang politik, ekonomi, sosial, maupun budaya. Kebijakan yang dikeluarkan itu seringkali membawa perubahan dan kegoncangan dalam kehidupan masyarakat di Kalimantan Selatan. Di saat situasi dan kondisi rakyat terjajah sangat menderita karena penindasan yang dilakukan pemerintah kolonial, maka tampillah kaum elite baru yang memiliki kesadaran dan merasakan ketidakadilan terhadap pribumi. hegemoninya menjadi dominasi.2 Bermula dari campur tangannya dalam suksesi keraton, maka Pemerintah Hindia Belanda mulai berusaha memperluas kekuasaannya di Kalimantan. Ekspedisi–ekspedisi dikirimkan ke daerah, bukan hanya untuk menumpas para pejuang Banjar, namun juga untuk memperluas kekuasaan, baik secara teritorial maupun secara administratif. Ekspedisi itu juga bertujuan untuk menentukan batas kawasan yang dihaki oleh Belanda, sebagai antisipasi kemungkinan perluasan hegemoni Inggeris yang ketika itu telah mempunyai pengaruh kuat di Kerajaan Brunei dan Kerajaan Sarawak di Kalimantan Utara,3 serta dalam rangka politik pembulatan wilayah (afrondingspolitiek) sehingga terbentuk Pax Neerlandica.4 Dalam menghadapi perlawanan, selain dengan kekuatan senjata, secara sepihak Belanda juga menghapuskan Kerajaan Banjar pada 11 Juni 1860. Secara administratif, bekas wilayah kerajaan Banjar yang dihapuskan, sejak 1865 dijadikan Belanda Keresidenan Afdeling Selatan dan Timur Borneo (Residentie Zuider en Oosterafdeling van Borneo). Seiring dengan semakin dikuasainya wilayah Kerajaan Banjar sampai perlawanan benar-benar berakhir pada tahun 1906, maka dengan leluasa Belanda menerapkan semua kebijakan kolonialnya baik di bidang politik, ekonomi, sosial, maupun budaya. Kebijakan yang dikeluarkan itu seringkali membawa perubahan dan kegoncangan dalam kehidupan masyarakat di Kalimantan Selatan. Di saat situasi dan kondisi rakyat terjajah sangat menderita karena penindasan yang dilakukan pemerintah kolonial, maka tampillah kaum elite baru yang memiliki kesadaran dan merasakan ketidakadilan terhadap pribumi.
No Katalog : -
No Publikasi : -
ISSN/ISBN : -
Tanggal Rilis :2005-11-01
downloadManusia, masyarakat, kebudayaan, dan sejarah merupakan empat komponen yang dapat dibedakan tetapi tidak dapat dipisahkan karena keempatnya berhubungan satu sama lain sebagai suatu sistem yang utuh. Manusia secara alami membentuk masyarakat yang pada tataran berikutnya bersama-sama menghasilkan kebudayaan yang kemudian ditulis dalam sejarah. Terbentuknya masyarakat dan kebudayaan dimungkinkan karena eksistensi manusia yang terletak pada kenyataan bahwa manusia secara terus menerus membuka diri terhadap masa depan, penemuan diri, perkembangan identitas, dan pengenalan diri yang tidak ada habis-habisnya. Dalam mempertahankan eksistensinya manusia atau sekelompok orang mengembangkan sistem mata pencarian, sosial, dan bersama-sama mengembangkan aspek lainnya seperti bahasa, seni, religi, peralatan dan perlengkapan hidup serta pengetahuan; maka terbentuklah kebudayaan yang menyeluruh (bandingkan dengan Koentjaraningrat, 1974). Leslie A. White (Radam, 1984) merinci kebudayan dalam tiga sistem, yaitu sistem teknologi, sistem sosial, dan sistem ideologi. Sistem teknologi mencakup sejumlah peralatan material, mekanis, fisik dan peralatan kimia yang termanifestasikan dalam bentuk alat-alat untuk memproduksi, mendirikan bangunan, alat untuk mempertahankan diri dan menyerang. Sistem sosial meliputi keseluruhan hubungan antar pribadi yang terwujudkan ke dalam pola-pola tatalaku tertentu baik bercorak individual maupun kolektif. Termasuk organisasi kemasyarakatan, ekonomi, politik, etika, pertahanan, dan jabatan. Sistem ideologi terdiri dari sekalian cita, keyakinan, pengetahuan yang termanifestasikan ke dalam bahasa dan tindakan simbolis lainnya, mitologi, teologi, dongeng, filsafat, ilmu pengetahuan, kearifan tradisional. Sistem teknologi, sosial, dan ideologi kedudukannya sama dan saling hubung kait. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang majemuk terdiri dari beragam suku bangsa dan sub-suku bangsa, masing-masing dengan ciri kebudayan yang partikular. Salah satu dari suku itu adalah orang Banjar di Provinsi Kalimantan Selatan yang telah berabad-abad mengembangkan kebudayaannya. Ditinjau dari kurun waktu, kebudayaan Banjar tidak statis, tetapi mengalami perubahan. Perubahan yang sangat mencolok terjadi ketika kuatnya penetrasi kolonial Belanda melalui intervensi politiknya, dan pada masa kekinian. Hubungan antar orang Banjar dengan orang Belanda tentunya tidak dapat kita masukkan dalam kategori akulturasi, akan tetapi hubungan antar penjajah dan yang dijajah.