No Katalog : -
No Publikasi : -
ISSN/ISBN : -
Tanggal Rilis :2011-03-01
downloadKalimantan Selatan merupakan salah satu provinsi yang tidak memiliki peninggalan fisik berupa keraton, meski dahulunya di Kalimantan Selatan pernah berdiri kerajaan besar yakni Kesultanan Banjarmasin. Kerajaan Banjar pada masa puncak kejayaannya memiliki kekuasaan teritorial yang sangat luas, yakni meliputi wilayah Kalimantan Selatan dan Tengah dan bahkan pengaruhnya sampai ke sebagian wilayah Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat saat sekarang. Meski fisik bangunan keraton Banjar sudah tidak ada lagi, bukan berarti data tentang keraton Banjar tidak ada sama sekali. Beberapa data historis berbentuk tulisan dan foto yang didasarkan atas kesaksian orang yang pernah melihat secara langsung kondisi keraton Banjar dan menggambarkannya dalam bentuk tulisan serta melukiskannya pada kanvas masih ada, meskipun terbatas. Oleh karena itu, adanya keinginan beberapa pihak untuk membangun kembali keraton Banjar di sebuah lokasi di Kalimantan Selatan patut untuk didukung. Rekonstruksi terhadap wujud arsitektur keraton Banjar dapat saja dilakukan melalui penggalian data-data historis, arkeologis, teknis (arsitektural), dan lingkungan dengan metode keilmuannya masing-masing. Hasil rekonstruksi tentunya diusahakan untuk mendekati keadaan aslinya, meski disadari hasilnya sesungguhnya bukanlah sebuah replika (duplikat, tiruan) keraton Banjar yang sebenarnya, namun lebih tepatnya adalah model arsitektur keraton Banjar.
No Katalog : -
No Publikasi : -
ISSN/ISBN : -
Tanggal Rilis :2010-12-01
downloadGerakan Tengkorak Putih adalah sebuah kelompok gerilya yang pernah eksis pada tahun terakhir perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia di Kalimantan Selatan (1949-1950). Keberadaannya di akhir masa revolusi fisik memberikan warna pada peran yang dimunculkannya, antara peran sebuah badan perjuangan di awal pembentukannya dengan stigma yang diberikan kepadanya sebagai gerombolan bersenjata pengacau keamanan di masa akhir keberadaannya di tahun 1950-an. Situasi dan kondisi Kalimantan Selatan pada bulan-bulan pertama 1949 sebenarnya kurang memberikan iklim kondusif terhadap terbentuknya kelompok gerilya baru termasuk kelompok gerilya ini, mengingat adanya usaha-usaha konsolidasi perjuangan yang dilakukan oleh Pemerintah Gubernur Tentara ALRI Divisi IV Pertahanan Kalimantan sebagai kelompok gerilya terbesar di Kalimantan Selatan untuk menjadikan dirinya sebagai satu-satunya pusat komando perjuangan dalam melawan Belanda (NICA) yang pada waktu itu sudah semakin terdesak kedudukannya. Namun dengan adanya pejuang asal Kalimantan yang datang dari Jawa dan menolak menggabungkan diri ke dalam Tentara ALRI, justru telah mendorong terbentuknya kelompok gerilya ini melalui sebuah kompromi. Kelompok gerilya ini yang mempunyai beberapa nama yang berbeda-beda serta formasi yang bersifat seadanya, Pengantar Penulis vi secara organisatoris berdiri sendiri. Sedangkan taktisnya, setelah Pertemuan di Munggu Raya (2 September 1949) dan pada perkembangan selanjutnya semakin banyak dipengaruhi oleh Komando Tentara ALRI yang telah memanfaatkannya sebagai “senjata” untuk menyerang KNIL, KL, dan Polisi NICA, serta kaki tangannya dari belakang selama berlangsungnya “cease fire”. Aksi-aksinya sendiri yang cenderung berbentuk intimidasi sebenarnya mempunyai pengaruh yang relatif kecil terhadap kemajuan gerilya dan perkembangan politik pada waktu itu. Perkembangan politik berupa Pertemuan 16 -17 Oktober 1949 di Banjarmasin justru menimbulkan perpecahan di kalangan anggota kelompok gerilya ini menyusul ditetapkan dan dilaksanakannya cease fire order secara resmi dan ditariknya serdadu Belanda dari daerah Hulu Sungai. Setelah Pertemuan 16–17 Oktober 1949 kelompok gerilya ini yang mulai mengalami proses kemunduran dan aksi-aksinya pada saat-saat menjelang akhir keberadaannya di dalam formasi Batalyon 605 (Juli 1950) telah dipandang oleh sebagian besar masyarakat, Divisi Lambung Mangkurat, dan pihak Belanda sebagai aksiaksi yang mengganggu ketenteraman umum dan menghambat pelaksanaan cease fire order. Aksi-aksi itu antara lain muncul sebagai dampak dari kebijakan Pemerintah Pusat yang terjadi pada awal tahun 1950-an, yakni sesudah selesainya Perang Kemerdekaan Indonesia, mengeluarkan kebijakan mendemobilisasi mantan pejuang gerilya dan merasionalisasi anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang menimbulkan berbagai benturan, persoalan, ketidakpuasan, gerakan politik dan bersenjata di sejumlah daerah, termasuk di Kalimantan Selatan. Dapat dikatakan kelompok gerilya ini berakhir dengan satu kesan yang cenderung kurang mengenakkan bagi sebagian pelakunya maupun orang yang terkait di dalamnya. vii Buku ini berasal dari hasil penelitian sejarah (historical research) yang pernah saya selesaikan beberapa tahun silam. Tidak banyak perubahan yang dilakukan, kecuali berupa sedikit perubahan sistematika karena disesuaikan dengan format buku. Sebagian besar sumber data berasal dari hasil wawancara dengan pelaku dan saksi sejarah. Selain itu digunakan pula beberapa surat kabar, catatan-catatan pribadi (memoar), surat-surat resmi, dan foto-foto pada masa perjuangan kemerdekaan. Berdasarkan masalah yang dikaji, maka tujuan utama buku ini adalah untuk menggambarkan sejarah Gerakan Tengkorak Putih, terutama yang berkenaan dengan awal, perkembangan, dan akhir kelompok gerilya ini. Sejak tulisan ini diselesaikan hingga kemudian diterbitkan menjadi buku yang sampai ke tangan pembaca tidaklah terlepas dari bantuan berbagai pihak. Maka dalam kesempatan ini, saya menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang membantu, terutama sekali para informan yang selama pengumpulan data telah bersedia memberikan informasi dalam bentuk lisan, tertulis maupun tulisan berupa dokumen dan benda bersejarah lainnya. Terima kasih pula disampaikan kepada jajaran Pustaka Book Publisher (Kelompok Penerbit Pinus) yang telah mempersiapkan penerbitan buku ini dan Ahmad Fauzan Jamal yang telah bersusah payah membantu saya menyelesaikan buku ini. Selanjutnya rasa terima kasih yang teramat sangat saya haturkan kepada ayahnda H. Amberi dan ibunda Hj. Nuriah yang selalu mendoakan anak-cucunya di tengah sunyinya malam, kakak kandungku atas semua bimbingan dan nasihatnya, dan kedua mertuaku atas segala kebaikannya, isteriku atas semua pengertiannya, dan kepa- viii da putera-puteriku Luthfi Pasha Ardani dan Salma Aulia Azizah dengan iringan doa semoga menjadi anak yang saleh dan salehah, serta tekun belajar untuk meraih masa depan. Akhirnya, kepada Allah Swt semuanya dikembalikan, dan seraya mengucapkan puji dan syukur ke hadirat-Nya yang telah memberikan petunjuk, kekuatan, kesabaran, dan nikmat kesehatan sehingga buku ini dapat diselesaikan, maka saya persembahkan buku ini kepada para pembaca. Semoga bermanfaat.
No Katalog : -
No Publikasi : -
ISSN/ISBN : -
Tanggal Rilis :2008-12-01
downloadHulu Sungai Selatan is one of regency in South Kalimantan which have many settlement sites, i.e. Jambu Hilir, Jambu Hulu, Pantai Ulin, Tanjung Selor, Bajayau,Bajayau Laman Panggandingan, and Tambak Bitin. Some of them have been archaeological researchesd. The result of the research is that the sites are potential for advanced research, i.e. comunit settlffment and zonal settlement researches. Hoping that the result could be used arrange local history.
No Katalog : -
No Publikasi : -
ISSN/ISBN : -
Tanggal Rilis :2008-11-01
downloadKalimantan Selatan, seperti halnya provinsi lainnya di Indonesia mempunyai bentangan sejarah dan tinggalan budaya; dari zaman prasejarah sampai periode kontemporer. Meski demikian, hanya sedikit peninggalan sejarah yang berkategori benda cagar budaya terutama yang berbentuk bangunan yang dapat bertahan hingga sekarang ini. Pada dasarnya peninggalan sejarah hanya mampu memberikan sedikit keterangan tentang peristiwa yang sebenarnya, sehingga jika benda peninggalan sejarah tidak didokumentasikan dengan baik, semakin rusak atau akhirnya musnah, maka sejarahnya akan semakin kabur atau dilupakan oleh generasi mendatang. Buku ini merupakan salah satu upaya dokumentasi dan mengkomunikasikan berbagai aspek kesejarahan dan kebudayaan di Kalimantan Selatan. Pemilihan judul buku “Mozaik Sejarah dan Kebudayaan Kalimantan Selatan: Kumpulan Catatan Ringan” diilhami dari isi buku yang merupakan kumpulan catatan yang bersifat pragmentaris tentang sejarah dan kebudayaan Kalimantan Selatan yang sebelumnya pernah dipublikasikan di beberapa media cetak. Sebagai seorang penulis lepas, sebenarnya tulisan yang pernah dipublikasikan di media cetak menyangkut berbagai aspek, seperti aspek sosial, lingkungan, pendidikan, dan tentu saja aspek sejarah dan kebudayaan Kalimantan Selatan. Sejarah dan kebudayaan memang dua istilah yang tidak dapat dipisahkan. Manusia menghasilkan kebudayaan dalam berbagai bentuk, dan kebudayaan yang dihasilkan manusia di masa lampau akan menghasilkan sejarah. Oleh sebab itu, sejarah sebagai suatu ilmu, peristiwa, maupun kisah melingkupi berbagai aspek kehidupan manusia
No Katalog : -
No Publikasi : -
ISSN/ISBN : -
Tanggal Rilis :2008-09-01
downloadPada diri seorang Artum Artha terdapat beberapa talenta. Beliau dikenal sebagai seorang sastrawan (penyair), wartawan, dan budayawan. Pada masa muda, beliau juga seorang yang pernah aktif dalam pergerakan kebangsaan seperti menjadi guru bantu Sekolah Medan Antara di Kandangan, memasuki kepanduan, aktivis organisasi politik Parindra, dan organisasi lainnya. Aktivitas itu terus berlanjut pada masa perjuangan mempertahankan kemerdekaan di Kalimantan Selatan 1945- 1949. Pada periode ini beliau turut berkecimpung dengan membentuk Gerakan Pemuda Republik Indonesia (GEPERINDO), dan menjadi staf Penerangan/Keuangan ALRI Divisi IV Pertahanan Kalimantan, sebuah organisasi kelaskaran terbesar di Kalimantan Selatan. Meski Artum Artha bukan termasuk salah seorang yang mendapat pengakuan dari Pemerintah (Departemen Sosial RI) sebagai perintis atau veteran pejuang kemerdekaan. Kenyataannya beliau adalah seorang yang turut berperan dalam merintis, merebut, dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia di Kalimantan Selatan. Aktivitas yang bersifat kontra pemerintah kolonial itulah yang mengakibatkan beliau beberapa kali merasakan ditangkap, diperiksa, dan bahkan ditahan di penjara yang sempit dan pengap oleh aparat pemerintah Hindia Belanda. Pak Artum, demikian seringkali beliau dipanggil, sebenarnya lebih dikenal sebagai seorang wartawan kawakan, baik sebagai pimpinan, staf redaksi, atau koresponden surat kabar atau majalah. Karir puncak sebagai wartawan adalah ketika beliau menjadi Ketua PWI Cabang 6 Kalimantan Selatan periode 1961-1963. Selain sebagai seorang wartawan dan penulis berita, beliau juga aktif menulis dan mempublikasikan puisi, cerpen, esai sastra, dan roman/novel yang dilakukannya sejak 1937, sehingga beliau dikenal pula sebagai penyair yang handal. Beliau juga seorang yang sangat peduli terhadap kebudayaan dan sejarah lokal Kalimantan Selatan sebagaimana tercermin pada karya tulis yang dihasilkan dan aktivitasnya secara langsung dalam kegiatan pelestarian benda peninggalan sejarah dan purbakala seperti memimpin Museum Banjar 1967-1972, turut aktif memperjuangkan Pangeran Antasari dan Brigjend H. Hassan Basry sebagai Pahlawan Nasional. Banyak penghargaan/piagam yang diterimanya dari berbagai kalangan. Sebagai penulis, beliau pernah menjadi Juara I Sayembara Karang Mengarang “Pemuda Harapan Bangsa” yang diselenggarakan oleh Jawatan Penerangan Provinsi Kalimantan di Banjarmasin tahun 1950. Beliau juga pernah mendapatkan penghargaan Hadiah Seni dari Gubernur KDH Tk. I Provinsi Kalimantan Selatan (Soebardjo Surosarodjo) pada tanggal 17 Agustus 1973, atas prestasi, reputasi, dan dedikasinya yang menonjol di bidang penggalian kebudayaan daerah Banjar di Kalimantan Selatan. Sebagaimana dikatakan sendiri oleh beliau bahwa aktivitas sebagai seorang wartawan, koresponden, reporter, penyair, penulis atau pengarang mendorongnya memiliki banyak sahabat atau kenalan, di lembaga swasta maupun pemerintah, di kalangan masyarakat luas maupun di dunia politik. Dunia politik bukanlah dunia yang asing baginya. Setidaknya pengalaman sebagai aktivis organisasi pergerakan dan luasnya pergaulan menjadi modal baginya 7 saat menjabat sebagai Ketua DPRD Kotapradja Banjarmasin 1954-1961. Paparan yang dikemukakan di atas, hanyalah sekelumit dari kisah perjalanan hidup seorang Artum Artha. Banyak hal-hal lainnya yang perlu diungkapkan dan dikomunikasikan kepada masyarakat. Oleh karena itulah, buku ini disajikan dengan maksud untuk menampilkan perjalanan Artum Artha secara lebih luas. Maksud penulisan buku dengan mengangkat kisah hidup seseorang tidaklah dimaksudkan untuk “menyanjung” apalagi mengkultuskan seorang tokoh. Sama sekali tidak demikian. Latar belakang penulisan riwayat hidup seorang dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa daerah Kalimantan Selatan sesungguhnya mempunyai tokoh yang layak diangkat perjalananan hidupnya sebagai sebuah kisah sejarah. Selama ini, seakan-akan Kalimantan Selatan kering dengan tokoh sejarah lantaran kurangnya buku biografi, autobiografi, atau memoar tokoh lokal yang ditemui di perpustakaan maupun toko buku di daerah ini. Sementara buku sejenis yang menampilkan tokoh lokal daerah lain banyak dan mudah didapatkan. Kondisi demikian, tentu saja akan berdampak kepada minimnya pengetahuan masyarakat terhadap tokoh panutan dari daerah sendiri. Sehubungan dengan itu, maka penulisan dan penerbitan biografi, autobiografi, atau memoar tokoh Kalsel sudah selayaknya untuk dilaksanakan. Buku ini mengambil judul “Artum Artha: Sastrawan, Wartawan, dan Budayawan Kalimantan Selatan”. Judul tersebut sengaja diambil untuk menampilkan aktivitas yang menonjol pada diri Pak Artum, meski disadari beliau sebenarnya pernah pula berkiprah di dunia politik seperti 8 anggota beberapa organisasi politik sebelum dan sesudah proklamasi kemerdekaan. Bahkan beliau pernah menjabat sebagai Ketua DPRD Kotapraja Banjarmasin. Selain itu, isi buku ini lebih bersifat memoar yang redaksinya disusun sedemikian rupa dengan pola “bertutur” sehingga seperti sebuah autobiografi, atau dengan kata lain lebih mencerminkan publikasi dari sebuah “naskah sumber” yang barangkali dapat digunakan sebagai data untuk penulisan sejarah/biografi yang sesungguhnya atau petunjuk bagi kajian selanjutnya. Meski buku ini memaparkan kisah hidup seorang Artum Artha, hanya sedikit yang dapat diungkapkan mengenai perjalanan hidupnya dari masa kecil hingga meninggal di tahun 2003 yakni dari masa Penjajahan Hindia Belanda, masa Pendudukan Jepang, dan masa pemerintahan NICA/Perang Kemerdekaan, dan masa di alam kemerdekaan. Kebanyakan informasi tentang Artum Artha bersumber dari dokumen, buku, dan memoar beliau sendiri yang penulis cantumkan judulnya dalam daftar pustaka, dan sebagian lagi berasal dari beberapa pustaka yang dihasilkan oleh penulis lainnya. Untuk mengetahui sosok Artum Artha secara lebih “utuh” tentu saja buku ini belum memadai, apalagi jika menyangkut pemikiran, atau gagasan beliau di bidang kebudayaan. Oleh karena itu, saya mengajak kepada para pembaca untuk menggali pemikiran atau gagasan beliau melalui buku atau karya tulis yang pernah beliau hasilkan. Pengumpulan dan rekonstruksi kembali data-data tentang kehidupan Artum Artha, bukanlah pekerjaan yang mudah. Meski naskah buku ini telah dipersiapkan sejak tahun 2004 sampai purnanya buku ini di awal 2008, masih ada beberapa hal yang belum terungkap dengan jelas. Belum 9 lagi adanya kemungkinan adanya kelemahan bahkan mungkin kesalahan. Namun saya meyakinkan kepada para pembaca bahwa kelemahan atau kesalahan itu pastilah tidak disengaja. Selesainya buku ini tidak terlepas dari berbagai bantuan. Oleh karena itu, sudah sepantasnyalah saya mengucapkan terima kasih kepada semua pihak seperti bapak Yusni Antemas (Anggraini Antemas) yang telah memberikan beberapa informasi berharga, terutama sekali kepada keluarga besar Artum Artha, seperti ibu Saniah yang telah mengizinkan saya untuk mengangkat perjalanan hidup Artum Artha, dan juga kepada saudara Aidin Nasydiansyah yang telah berkenan membantu menghimpun berbagai dokumen dan meminjamkannya kepada saya untuk menyusun buku ini. Semoga buku ini bermanfaat